Rabu, 25 September 2013

senyap // genap-37 [diorama #196]

Makhluk itu bernama ego, yang bersemayam dalam tubuh setiap manusia, menempati salah satu ruang di sudut hati. Perihal sebesar apa ruangnya, tentu berbeda antar satu orang dengan orang yang lainnya. Yang pasti, ego akan senang hati untuk memenuhi ruang yang kita sediakan untuknya. Dan untuk kamu, beserta kaum lelaki di luar sana; sudilah kiranya untuk mempersempit ruang ego itu di hati kalian, agar tidak merepotkan hatinya kaum perempuan?

Aku tahu, sebagai laki-laki, kamu punya kebutuhan yang lebih besar untuk dihormati dan dihargai. Tapi kamu juga harus tahu, kalau pengharagaan dan penghormatan tidak kamu dapatkan dengan memintanya, tapi dengan memberikan penghormatan dan penghargaan sebesar kamu ingin dihormati dan dihargai. Kamu selalu ingin menang sendiri, kamu selalu merasa benar, kamu tak ingin disalahkan padahal itu jelas-jelas kesalahan kamu. Maaf, kali ini kamu amat keterlaluan. Ego kamu menggurita, dan aku bosan jadi pihak yang selalu mengalah.

Apalah sulitnya merangkai sebuah kata, mengapit dua vokal kembar diantara dua konsonan; m-a-a-f, lalu mengucapkannya dengan sepenuh hati. Entahlah, mungkin bagi laki-laki yang egois, bilang maaf memang lebih sulit daripada bilang cinta. Ada saja pembenaran yang kamu katakan untuk memfasilitasi egomu itu. Bolehlah kamu pintar dalam apa saja, tapi tolong jangan pintar membuat alasan. Boleh saja kamu memberikan komitmen, tapi tolong jangan setengah-setengah, apalagi cuma sekedar formalitas. Ngerepotin, tahu!

***

Ada rasa yang berbeda ketika aku membaca catatan itu kembali, catatan yang aku buat dengan rasa sesal, ditujukan untuk laki-laki sebelum kamu yang katanya ingin menggenapiku. Laki-laki tidak serius yang mencoba keberuntungan jodohnya denganku. Kenapa tidak serius? Karena  laki-laki yang serius, benar-benar niat untuk menggenapi hidupnya itu tidak banyak pertimbangan. Ada, tapi tidak banyak. Perlu waktu, tapi tidak berlama-lama. Dulu aku bertanya-tanya kenapa aku harus mengalami kejadian tidak penting model begitu, dipertemukan dengan laki-laki sejenis itu, sebelum menggenap bersama kamu. Sekarang aku tahu jawabannya.

Kamu tahu, terkadang Allah memberikan kita pelajaran hidup berupa musibah atau ujian, yang sebenarnya pelajaran itu diperuntukkan untuk masa depan kita. Banyak orang yang mengeluh dan menyesal dengan apa yang terjadi dalam hidupnya sekarang, padahal apa yang dialaminya itu adalah cara Allah untuk membuatnya lebih baik di masa depan. Jadi kalau kita sedang tertimpa ujian yang menyakitkan, memang rasa manisnya belum bisa dirasakan saat ujian itu tiba. Tapi nanti entah kapan, percayalah, rasa manis dari ujian itu akan kita cicipi, sadar ataupun tidak. Seperti yang aku alami dengan laki-laki sebelum kamu.

Siapa sangka, di saat-saat tertentu, ternyata kamu juga punya perangai yang sedikit mirip dengan laki-laki itu. Egonya, menyebalkannya, tak mau kalahnya, ingin menang sendirinya, dan sederet perangai laki-laki pada lazimnya. Untung aku punya pengalaman menghadapi perangai itu dengan laki-laki sebelum kamu. Mamaku bahkan pernah menasihatiku panjang lebar tentang hal ini, ketika aku juga keterlaluan menyikapi kekesalanku padamu, katanya;

 “Boleh saja kamu berusaha untuk lebih mencintai pasangan kamu, untuk meminimalisir masalah yang terjadi diantara kalian. Sayangnya, keharmonisan berumah tangga bukan ditentukan dari seberapa besar cinta sepasang manusia yang saling menggenapi. Tapi dari seberapa dewasa pasangan itu menyikapi masalah yang mereka alami.”

“Dan dewasa adalah kamu tetap menunaikan kewajiban kamu, seberat apapun kondisi yang sedang menimpa kamu. Dewasa adalah kamu tetap memenuhi hak orang lain atas kamu, semenyebalkan apapun orang yang harus kamu penuhi haknya itu. Dewasa adalah memaafkan orang lain sebelum orang itu meminta maaf, bahkan tetap memaafkan jikapun orang tersebut tak memintanya. Bukan karena memaafkan itu sebuah keharusan, tapi karena dengan tidak memaafkan, kamu akan lebih menyakiti perasaan kamu sendiri. Dewasa tidak selalu kamu yang harus mengalah. Dewasa adalah kamu tahu kapan saatnya mengalah. Bukan karena kamu takut ataupun lemah. Tapi terkadang, mengalah memang pilihan yang paling bijak. Dewasa adalah kamu mengurangi ego kamu, seberapa sedikitpun ego yang kamu rasa. Bukan karena ego itu tidak penting, tapi karena menjaga kebersamaan selalu lebih penting daripada ego kita masing-masing.”

***

“Sama.”Katamu polos, menanggapi curhatanku yang berapi-api tentang betapa menyebalkannya beberapa perangai kamu belakangan ini. Aku malah kaget terbengong-bengong.

“Kamu tahu, terkadang orang yang membuat kita kesal, malah lebih kesal dengan perilaku kita. Tapi memang, setiap perasaan punya hak untuk dilampiaskan. Termasuk rasa kesal. Tinggal caranya saja yang bermacam-macam. Kamu memilih melampiaskan kekesalan kamu kepada orang yang membuatmu kesal. Aku lebih memilih melampiaskan kekesalanku kepada senyap, memperbaiki kondisi, sambil berkaca diri apa yang telah dan akan aku lakukan pada orang yang membuatku kesal. Entah kapan, nanti-nanti, kalau situasinya lebih baik, kalau perasaanku lebih terkondisikan, akan aku sampaikan kekesalanku padamu. Bukan sebagai rasa, tapi sebagai kenangan, sebagai pelajaran, sebagai bagian dari proses untuk menerima.”

Dan tiba-tiba, aku ingin menghilang saja dari hadapan kamu, enggak ngerti lagi harus bilang apa.

bersambung…

Dirangkai oleh tangan-tangan piawai,
ide kreatif,
gagasan yang menyentuh
(Kak Nazrul Anwar)

makasiii untuk pelajaran hari ini,
suatu saat nanti insyaAllah,
SAYA,
akan bisa seperti  mereka.
-aamiin-

Tidak ada komentar: