Makhluk itu bernama ego, yang bersemayam dalam tubuh setiap manusia,
menempati salah satu ruang di sudut hati. Perihal sebesar apa ruangnya,
tentu berbeda antar satu orang dengan orang yang lainnya. Yang pasti,
ego akan senang hati untuk memenuhi ruang yang kita sediakan untuknya.
Dan untuk kamu, beserta kaum lelaki di luar sana; sudilah kiranya untuk
mempersempit ruang ego itu di hati kalian, agar tidak merepotkan hatinya
kaum perempuan?
Aku tahu, sebagai laki-laki, kamu punya
kebutuhan yang lebih besar untuk dihormati dan dihargai. Tapi kamu juga
harus tahu, kalau pengharagaan dan penghormatan tidak kamu dapatkan
dengan memintanya, tapi dengan memberikan penghormatan dan penghargaan
sebesar kamu ingin dihormati dan dihargai. Kamu selalu ingin menang
sendiri, kamu selalu merasa benar, kamu tak ingin disalahkan padahal itu
jelas-jelas kesalahan kamu. Maaf, kali ini kamu amat keterlaluan. Ego
kamu menggurita, dan aku bosan jadi pihak yang selalu mengalah.
Apalah
sulitnya merangkai sebuah kata, mengapit dua vokal kembar diantara dua
konsonan; m-a-a-f, lalu mengucapkannya dengan sepenuh hati. Entahlah,
mungkin bagi laki-laki yang egois, bilang maaf memang lebih sulit
daripada bilang cinta. Ada saja pembenaran yang kamu katakan untuk
memfasilitasi egomu itu. Bolehlah kamu pintar dalam apa saja, tapi
tolong jangan pintar membuat alasan. Boleh saja kamu memberikan
komitmen, tapi tolong jangan setengah-setengah, apalagi cuma sekedar
formalitas. Ngerepotin, tahu!
***
Ada rasa
yang berbeda ketika aku membaca catatan itu kembali, catatan yang aku
buat dengan rasa sesal, ditujukan untuk laki-laki sebelum kamu yang
katanya ingin menggenapiku. Laki-laki tidak serius yang mencoba
keberuntungan jodohnya denganku. Kenapa tidak serius? Karena laki-laki
yang serius, benar-benar niat untuk menggenapi hidupnya itu tidak banyak
pertimbangan. Ada, tapi tidak banyak. Perlu waktu, tapi tidak
berlama-lama. Dulu aku bertanya-tanya kenapa aku harus mengalami
kejadian tidak penting model begitu, dipertemukan dengan laki-laki
sejenis itu, sebelum menggenap bersama kamu. Sekarang aku tahu
jawabannya.
Kamu tahu, terkadang Allah memberikan kita
pelajaran hidup berupa musibah atau ujian, yang sebenarnya pelajaran itu
diperuntukkan untuk masa depan kita. Banyak orang yang mengeluh dan
menyesal dengan apa yang terjadi dalam hidupnya sekarang, padahal apa
yang dialaminya itu adalah cara Allah untuk membuatnya lebih baik di
masa depan. Jadi kalau kita sedang tertimpa ujian yang menyakitkan,
memang rasa manisnya belum bisa dirasakan saat ujian itu tiba. Tapi
nanti entah kapan, percayalah, rasa manis dari ujian itu akan kita
cicipi, sadar ataupun tidak. Seperti yang aku alami dengan laki-laki
sebelum kamu.
Siapa sangka, di saat-saat tertentu,
ternyata kamu juga punya perangai yang sedikit mirip dengan laki-laki
itu. Egonya, menyebalkannya, tak mau kalahnya, ingin menang sendirinya,
dan sederet perangai laki-laki pada lazimnya. Untung aku punya
pengalaman menghadapi perangai itu dengan laki-laki sebelum kamu. Mamaku
bahkan pernah menasihatiku panjang lebar tentang hal ini, ketika aku
juga keterlaluan menyikapi kekesalanku padamu, katanya;
“Boleh
saja kamu berusaha untuk lebih mencintai pasangan kamu, untuk
meminimalisir masalah yang terjadi diantara kalian. Sayangnya,
keharmonisan berumah tangga bukan ditentukan dari seberapa besar cinta
sepasang manusia yang saling menggenapi. Tapi dari seberapa dewasa
pasangan itu menyikapi masalah yang mereka alami.”
“Dan
dewasa adalah kamu tetap menunaikan kewajiban kamu, seberat apapun
kondisi yang sedang menimpa kamu. Dewasa adalah kamu tetap memenuhi hak
orang lain atas kamu, semenyebalkan apapun orang yang harus kamu penuhi
haknya itu. Dewasa adalah memaafkan orang lain sebelum orang itu meminta
maaf, bahkan tetap memaafkan jikapun orang tersebut tak memintanya.
Bukan karena memaafkan itu sebuah keharusan, tapi karena dengan tidak
memaafkan, kamu akan lebih menyakiti perasaan kamu sendiri. Dewasa tidak
selalu kamu yang harus mengalah. Dewasa adalah kamu tahu kapan saatnya
mengalah. Bukan karena kamu takut ataupun lemah. Tapi terkadang,
mengalah memang pilihan yang paling bijak. Dewasa adalah kamu mengurangi
ego kamu, seberapa sedikitpun ego yang kamu rasa. Bukan karena ego itu
tidak penting, tapi karena menjaga kebersamaan selalu lebih penting
daripada ego kita masing-masing.”
***
“Sama.”Katamu
polos, menanggapi curhatanku yang berapi-api tentang betapa
menyebalkannya beberapa perangai kamu belakangan ini. Aku malah kaget
terbengong-bengong.
“Kamu tahu, terkadang orang yang
membuat kita kesal, malah lebih kesal dengan perilaku kita. Tapi memang,
setiap perasaan punya hak untuk dilampiaskan. Termasuk rasa kesal.
Tinggal caranya saja yang bermacam-macam. Kamu memilih melampiaskan
kekesalan kamu kepada orang yang membuatmu kesal. Aku lebih memilih
melampiaskan kekesalanku kepada senyap, memperbaiki kondisi, sambil
berkaca diri apa yang telah dan akan aku lakukan pada orang yang
membuatku kesal. Entah kapan, nanti-nanti, kalau situasinya lebih baik,
kalau perasaanku lebih terkondisikan, akan aku sampaikan kekesalanku
padamu. Bukan sebagai rasa, tapi sebagai kenangan, sebagai pelajaran,
sebagai bagian dari proses untuk menerima.”
Dan tiba-tiba, aku ingin menghilang saja dari hadapan kamu, enggak ngerti lagi harus bilang apa.
bersambung…
Dirangkai oleh tangan-tangan piawai,
ide kreatif,
gagasan yang menyentuh
(Kak Nazrul Anwar)
makasiii untuk pelajaran hari ini,
suatu saat nanti insyaAllah,
SAYA,
akan bisa seperti mereka.
-aamiin-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar