Sejatinya seorang pemenang adalah mereka yang mampu memenangkan diri
atas nafsunya.
Kamu sering mendengar? Dalam sebuah pertandingan fisik, entah itu
sepak bola, badminton, perlombaan tennis, atau yang lainnya. Tentu di sana kamu
akan menemukan seseorang yang dikatakan juara. Dialah orang yang mendapatkan
sanjungan serta pujian sebagai balasan atas usahanya. Eitzz jangan lupa, disana
juga kamu pasti menemukan seseorang yang terlihat lesu di wajahnya, letih atas
usahanya yang bisa dibilang sia-sia atau belum membuahkan hasil, ya dia adalah
orang yang mendapatkan predikat belum beruntung atau kalah. Tentu dunia ini
seimbang karena memang ada keseimbangan di dalamnya. Dia yang Maha Sempurna
telah merangkai semuanya dengan indah dan tertib. Bayangkan jika Bumi sedetik
saja tidak berputar? Maka apa yang akan terjadi??!
Baiklah, mari kita kembali pada bahasan awal. Memang banyak sekali
para pemenang yang telah mencicipi buah hasil atas usahanya. Adil memang. Namun
yang menjadi pertanyaan besar adalah
“sudahkan kita menjadi pemenang atas diri kita sendiri? Atas nafsu
yang tak lekang merekang keinginan jiwa? Sudahkan kita mampu melunakan
keinginan itu hingga ia hanya sebatas menjadi hamba atas tuhannya (dirinya)?”
Jika jawabannya “ya”, maka pertanyaannya akan berlanjut “ seberapa
seringkah kau bisa dikatakan pemenang?”, jika ada jawaban lain menghampiri
“belum bisa” , lantas pertanyaan lainpun terus mencecar “mengapa anda belum
bisa mengendalikannya?” bukankah engkau adalah raja atas dirimu sendiri?
Bukankah seorang raja itu bisa berkuasa sesuka hati dan semaunya, kapanpun dan
dimanapun?
Apakah memang kini sudah berubah status? Disadari atau tidak kau telah
menjadi budak atas nafsumu.
Astaghfirullah haladzim…
Mari kita sejenak merenung,
“mengapa ada orang ‘sukses’, dan mengapa juga ada orang yang gagal?”
konteks sukses disini adalah mereka yang telah menjadi raja atas dirinya,
sehingga kebahagiaan dunia digenggamnya, dan tentu kebahagian akhirat ada di hatinya. Ya, sering
sekali saya menemukan sebuah komunitas mungil bernama keluarga, yang didalamnya
diisi oleh orang-orang super, terutama kedua orang yang berstatus kepala serta
ibu rumah tangganya. Saya rasa keberhasilan keluarga memang atas kerja sama
setiap unsur yang ada di dalamnya, namun ada yang utama, ya peran keduanya,
karena merekalah yang pertama kali membuat visi dan misi rumah tangganya,
sehingga anak-anak mengikuti arusnya.
Terkadang saya ‘iri’ saat melihat atau mendengar tentang kehidupan
Ustadz X yang nampaknya keluarga yang paling Sejahtera. Bagaimana tidak, Ia
mempunyai istri yang solehah,pandai, mampu bersosialisasi dengan masyarakat,
mempunyai banyak anak soleh-solehah serta berprestasi disegala bidang.
Pekerjaan mapan meski tak besar-besar amat, kolega baik dimana-mana, karena
konon katanya Ustadz X ini terkenal dengan kepiawaiannya berinteraksi, tak
pandang bulu. Siapapun dia orangnya, tak kenal kaya ataupun miskin. Lantas
kurangnya apa?
“ah mungkin nampak luarnya saja mereka bahagia” sesekali fikiran itu
memenuhi ruang fikir saya.
Namun lagi-lagi tak bisa menafikan, memang mereka itu nampaknya tak
hanya secara dzahir saja terlihat bahagia, namun secara batinpun mereka telah
menunjukan pancaran kebahagiaannya.
Subhanallah…
Hanya tuntutan keluarga Rasullulah-lah yang pantas menjadi teladan.
Intinya adalah ketika kita bisa menyelesaikan hal-hal kecil dengan
baik, tak menutup kemungkinan kita akan bisa menyelesaikan hal besar dengan
sangat baik.
Lawanlah setiap kali bisikan atas kemalasan, ketidakpedulian,
keacuhan-tak acuhan baik pada dirimu, orang lain, atau pada lingkungan mu.
Karena apa-apa yang kita lakukan adalah manifestasi dari
kebiasaan-kebiasaan kecil yang sering kau nafik-kan.
Mulailah dari sekarang untuk tidak melakukan dosa, meski sekecil
apapun.
Tapi paksalah dirimu untuk melakukan hal kebaikan, meski itu susah.
Yakinkah pada dirimu,
Kau adalah seorang PEMENANG.
Baik di dunia nyata, atau di akhirat kelak insyaAlloh. Aamiin
Allahu ghayatuna.
Rumahku-Syurgaku
Di penghujung tahun masehi
Tuesday 31 Des 2013